Selasa, 19 Juni 2012


Perbedaan Bank Umum Dan Bpr
Landasan hukum adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan jenisnya bank terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum bank umum dan BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi.
Apa sih bedanya antara bank umum dan bank bpr??? Toh sama-sama buat menabung dan juga bisa buat kredit. Perbedaan bank umum dengan bank umum dilihat dari kegiatannya:
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
1.Memberikan kredit;
2.Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan
3.ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
4.Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
5.Tidak bisa menciptakan uang giral
Sedangkan yang tidak bisa/ yang tidak boleh dilakukan BPR adalah:
1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3. Melakukan penyertaan modal;
4. Melakukan usaha perasuransian;
5. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR.
Perbedaannya juga terlihat dari jumlah min modal yang harus disetor kalau bank umum minimal nenyetor 3.000.000.000.000 untuk dapat membuka bank umum sedangkan BPR hanya Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPR yang didirikan di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi dan Karawang. Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPR yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada angka. Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPR yang didirikan di luar wilayah tersebut pada dan Bagian dari modal disetor yang digunakan untuk modal kerja sekurang-kurangnya sebesar 50%. Pihak yang dapat mendirikan BPR adalah:
1. Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Badan hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh WNI;
3. Pemerintah Daerah; atau
4. Dua pihak atau lebih sebagaimana yang dimaksud dalam angka 1, 2 dan 3.
Pihak-pihak yang bisa mendirikan BPR adalah:
1. Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Badan hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh WNI;
3. Pemerintah Daerah; atau
4. Dua pihak atau lebih sebagaimana yang dimaksud dalam angka 1, 2 dan 3.
jadi intinya modal yang diperlukan adalah sebesar 3.000.000.000.000 untuk dapat membuka bank umum, sedangkan BPR hanya sebesar 2.000.000.000 pada daerah istimewa. Dan BPR tidak diperbolehkan menjual produk giro karena tidak boleh ikut dalam kliring.




Perbedaan bank syariah dengan bank konvensional

perbedaan mendasar bank syariah dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan, sedangkan bank biasa memakai perangkat bunga. Kedua, pada bank syariah hubungan dengan bank syariah berbentuk kemitraan. Sedangkan pada bank biasa hubungan itu berbentuk debitur – kreditur. Ketiga, bank syariah melakukan investasi yang halal saja, sedangkan bank biasa, bisa halal, syubhat dan haram. Keempat, bank syariah berorientasi keuntungan duniawi dan ukhrawi, yakni sebagai pengamalan syariah. Sedangkan orientasi bank biasa semata duniawi. Kelima, bank syariah tidak melakukan spekulasi mata uang asing dalam operasionalnya untuk meraup keuntungan, sedangkan biasa, banyak yang masih melakaukan. Bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank biasa cenderung berpandangan demikian.
Bank Syariah
1.    Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
2.    Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
3.    Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank
4.    Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah
5.    Prinsip bagi hasil:
•    Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
•    Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
•    Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
•    Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil
•    Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak



Bank Konvensional


1.    Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja
2.    Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang
3.    Sistem bunga:
•    Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
•    Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
•    Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
•    Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
•    Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.


Jenis-jenis Perbankan di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU No. 7 Tahun 1992.
Dalam Pasal 5 ayat (1), berbunyi:
1. Bank Umum, adalah bank yang dapat memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Pasal 5 ayat (2): “Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Perbankan di Indonesia hanya terdiri dari 2 jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan saja, sedangkan Bank Sentral hanya bertugas untuk menjaga kestabilan moneter dan melakukan pengawasan dan pembinaan bank.
Sebagaimana yang telah ditentukan bahwa hanya ada 2 jenis Perbankan di Indonesia, makan usaha-usaha Perbankan pun hanya di jalankan oleh 2 jenis bank saja, yaitu:
1. Usaha Bank Umum, diatur dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992. Namun setelah adanya UU yang Diubah (UU No. 10 Tahun 1998) ketentuan dalam huruf m diganti, dan berbunyi: “menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
2. Usaha Bank Perkreditan Rakyat, diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Namun setelah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, ketentuan dalam huruf c diganti, dan berbunyi: “menyediakan pembiyaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip Syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dilarang untuk:
1. menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
2. melakukan kegiatan valas (valuta asing).
3. melakukan usaha perasuransian.
Menurut pengertian di atas perbankan di Indonesia ada dua jenis yaitu :
1. Bank Umum, yaitu dapat menyediakan pembiayaan, penempatan uang dan melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari’ah serta dapat memberikan jasa – jasa dalam lalu lintas pembayaran baik dalam maupun luar negri.
2. Bank Perkreditan Rakyat, yang hanya dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan uang saja berdasarkan prinsip syari’ah. Yang artinya hanya dapat melakukan simpanan deposito saja.