Sejarah
Perbankan Islam di Indonesia
Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Adapun pendapat Majelas Tarjih
Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa
bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau
sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari
faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara,
dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena
bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga
pada bank swasta. Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar
di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut
dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga
kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan
pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati
adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Adanya
perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah
di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal
periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar
ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk
menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam
Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan
Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung
(Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai
gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank
Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba,
sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna
pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas
disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni
mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian
Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus
tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga
bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25
Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja
pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi
dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut
adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992,
BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai
bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar