Selasa, 19 Juni 2012

Sejarah Perbankan Islam di Indonesia


Sejarah Perbankan Islam di Indonesia

                        Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
                        Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.

Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta. Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.

                        Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar